Minggu, 04 April 2010

METODOLOGI UMUM PELAKSANAAN PROYEK SISTEM INFORMASI (METODOLOGI GENERIK)

Secara umum, proyek-proyek sistem informasi dalam perusahaan atau organisasi dapat dikategorikan dalam 3 kelompok besar.

1.         Proyek yang bersifat pembangunan jaringan infrastruktur teknologi informasi, menyangkut hal-hal mulai dari pengadaan dan instalasi computer sampai dengan perencanaan dan pengembangan infrastruktur jaringan LAN (Local Area Network) dan WAN (Wide Area Network).

2.         Implementasi dari paket program aplikasi yang dibeli di pasaran dan diterapkan di perusahaan, mulai dari software kecil seperti produk-produk retail Microsoft sampai dengan aplikasi terintegrasi berbasis ERP, seperti SAP dan BAAN.

3.         Perencanaan dan pengembangan aplikasi yang dibuat sendiri secara khusus (customized software), baik oleh internal perusahaan maupun kerja sama dengan pihak luar seperti konsultan dan software house.

Lepas dari perbedaan tersebut, secara garis besar ada 6 tahap yang bisa dijadikan sebagai batu pijakan atau metodologi dalam melaksanakan aktivitas pengembangan tersebut.

1.       Tahap Perencanaan

Tahap perencanaan merupakan suatu rangkaian kegiatan semenjak ide pertama yang melatarbelakangi pelaksanaan proyek ini didapat, pendefinisian awal terhadap kebutuhan detail atau target yang harus dicapai dari proyek tersebut, penyusunan proposal, penentuan metodologi dan sistem manajemen proyek yang digunakan, sampai dengan penunjukan tim dan instruksi untuk mengeksekusi (memulai) proyek yang bersangkutan. Biasanya ada dua pihak yang terlibat langsung dalam proyek perencanaan ini yaitu :

·         Pihak yang membutuhkan (demand side) eksistensi dari suatu sistem informasi, dalam hal ini adalah perusahaan, lembaga, institusi atau organisasi yang bersangkutan.

·         Pihak yang berusaha menjawab kebutuhan tersebut (supply side) dalam bentuk pengembangan teknologi informasi. Kelompok ini biasanya merupakan gabungan dari para personel yang terkait dengan latar belakang ilmu dan pengetahuan yang beragam (multidisiplin), seperti ahli perangkat lunak, analisis bisnis dan manajemen, spesialis perangkat keras, programmer, sistem analis, praktisi hukum, manajer proyek dan beberapa karakteristik SDM lain yang terkait.

Dilihat dari segi manajemen proyek sistem informasi, output yang harus dihasilkan tahap perencanaan adalah berupa jadwal detail dari kelima tahapan berikutnya menyangkut masalah waktu, target yang dapat disampaikan (deliverable), personel yang bertanggung jawab, aspek-aspek keuangan dan hal-hal lain yang berkaitan dengan pendayagunaan sumber daya yang dipergunakan dalam proyek. Sebagai tambahan, standar-standar dan prosedur yang akan dipergunakan dalam melakukan pengelolaan proyek pun harus jelas dan disepakati bersama oleh seluruh anggota personel.


2.       Tahap Analisis

Secara prinsip ada 2 aspek yang jadi fokus analisis, yaitu :

1.       Aspek bisnis atau manajemen

Analisis aspek bisnis dimulai dengan mempelajari karakteristik perusahaan yang bersangkutan, mulai dari aspek-aspek historis, struktur kepemilikan, visi, misi, kunci keberhasilan usaha (critical success factors), ukuran kinerja (performance measurements), strategi, program-program dan hal terkait lainnya.

Tujuan dilakukannya langkah ini :

·         Mengetahui posisi atau peranan teknologi informasi yang paling sesuai dan relevan di perusahaan (mengingat setiap perusahaan memiliki pandangan tersendiri dan unik terhadap sumber daya teknologi yang dimiliki, yang membedakannya dengan perusahaan lain).

·         Mempelajari fungsi-fungsi manajemen dan aspek-aspek bisnis terkait yang akan berpengaruh (memiliki damppak tertentu) terhadap proses desain, konstruksi dan implementasi.

2.       Aspek teknologi

Analisis aspek teknologi meliputi kegiatan-kegiatan yang bersifat menginventarisir aset teknologi informasi yang dimiliki perusahaan pada saat proyek dimulai dengan berbagai tujuan, antara lain :

·         Mempelajari infrastruktur teknologi informasi yang dimiliki perusahaan dan tingkat efektivitas penggunaannya selama kurun waktu tersebut.

·         Menganalisis kemungkinan-kemungkinan diperlukannya penambahan sistem di kemudian hari (system upgrading) sehubungan akan diimplementasikannya teknologi baru.

Keluaran dari proses analisis di kedua aspek ini adalah isu-isu (permasalahan) penting yang harus segera ditangani, dianalisis penyebabnya, dampaknya bagi bisnis perusahaan, beberapa kemungkinan scenario pemecahan dengan segala resiko cost/benefit (laba/rugi) dan trade-off (tukar tambah), serta pilihan solusi yang direkomendasikan. Sebelum memasuki fase desain, seluruh tim harus paham tentang isu-isu ini dan memiliki komitmen untuk melanjutkan proyek yang ada ke tahap berikutnya sesuai dengan skala prioritas yang telah ditentukan (setelah memilih scenario yang disetujui bersama).


3.       Tahap Desain

Pada tahap desain, tim teknologi informasi bekerja sama dengan tim bisnis atau manajemen melakukan perancangan komponen-komponen sistem terkait. Tim teknologi informasi akan melakukan perancangan teknis dari teknologi informasi yang akan dibangun, seperti sistem basis data, jaringan computer, metode interfacing, teknik konversi data, metode migrasi sitem dan sebagainya.

Model-model umum seperti Flowchart, ER Diagram, DFD dan lain sebagainya dipergunakan sebagai notasi umum dalam perancangan sistem secara teknis. Sementara itu secara paralel dan bersama-sama tim bisnis atau manajemen akan melakukan perancangan terhadap komponen-komponen organisasi yang terkait seperti prosedur (SOP = Standar Operation Procedures), struktur organisasi, kebijakan-kebijakan, teknik pelatihan, pendekatan SDM dan sebagainya. Tim ini pun biasanya akan mempergunakan model-model umum seperti Porter’s Value Chain, Bussiness Process Mapping, Strategic Distinction Model, BCG Matrix, dan lain-lain. Jelas bahwa hasil tahap ini, yang berupa cetak biru rancangan sistem, secara teknis dan secara manajemen akan dijadikan pegangan dalam proses konstruksi dan implementasi komponen-komponen pada sistem informasi yang akan dikembangkan.

4.       Tahap Konstruksi

Berdasarkan desain yang telah dibuat, konstruksi atau pengembangan sistem yang sesungguhnya (secara fisik) dibangun. Tim teknis merupakan tulang punggung pelaksana tahap ini, mengingat semua hal yang bersifat konseptual harus diwujudkan dalam suatu konstruksi teknologi informasi dalam skala detail.

Dari semua tahapan yang ada, tahap konstruksi inilah yang biasanya paling banyak melibatkan sumber daya terbesar, terutama dalam hal SDM, biaya, waktu. Control terhadap manajemen proyek pada tahap konstruksi harus diperketat agar tidak terjadi ketidakefisienan maupun ketidakefektifan dalam penggunaan beragam sumber daya yang ada (yang secara tidak langsung akan berdampak langsung terhadap keberhailan proyek sistem informasi yang diselesaikan secara tepat waktu). Akhir dari tahap konstruksi biasanya berupa uji coba sistem. Perbaikan-perbaikan bersifat minor biasanya harus dilakukan setelah adanya masukan-masukan yang timbul setelah diadakannya evaluasi.


5.       Tahap Implementasi

Tahap Implementasi merupakan tahap yang paling kritis karena untuk pertama kalinya sistem informasi akan dipergunakan di dalam perusahaan. Biasanya, pendekatan yang dipergunakan oleh perusahaan adalah pendekatan cut off dan paralel.

·         Pendekatan cut off atau big-bang adalah suatu strategi implementasi yang memilih sebuah hari sebagai patokan dan terhitung mulai hari tersebut, sistem baru mulai dipergunakan dan sistem lama ditinggalkan sama sekali.

·         Pendekatan paralel dilakukan dengan cara melakukan pengenalan sistem baru sementara sistem lama belum ditinggalkan, sehingga dua buah sistem berjalan secara paralel (kedua sistem tersebut biasa disebut testing environment dan production environment).

Pemilihan terhadap kedua strategi tersebut tergantung pada perusahaan masing-masing, karena masing-masing strategi implementasi memiliki keuntungan dan kerugian yang berbeda. Lepas dari strategi yang dipilih, pemberian pelatihan (training) harus diberikan kepada semua pihak yang terlibat sebelum tahap implementasi dimulai. Selain untuk mengurangi resiko kegagalan, pemberian pelatihan juga berguna untuk menanamkan rasa memiliki (sense of ownership) terhadap sistem baru yang diterapkan, sehingga seluruh jajaran pengguna atau SDM akan dengan mudah menerima sistem tersebut dan memeliharanya dengan baik di masa-masa mendatang. Evaluasi secara berkala perlu dilakukan untuk menilai kinerja sistem baru yang diterapkan dan untuk mengetahui isu-isu permasalahan yang timbul. Tentu saja pemecahan masalah dalam tahap implementasi harus segera dicari agar penggunaan sistem tersebut efektif.

Proyek sistem informasi biasanya ditutup setelah tahap implementasi dilakukan. Namun ada satu tahapan lagi yang harus dijaga manajemennya, yaitu tahap pascaimplementasi.

 

6.       Tahap Pascaimplementasi

Dari segi manajemen, tahap pascaimplementasi adalah berupa suatu aktivitas, harus ada personel atau divisi dalam perusahaan yang dapat melakukan perubahan atau modifikasi terhadap sistem informasi sejalan dengan perubahan kebutuhan bisnis yang teramat dinamis. Dengan kata lain, dalam era kompetisi sekarang, perusahaan harus mampu berubah dengan sangat cepat. Sistem informasi atau teknologi informasi yang secara teknis tidak dapat beradaptasi terhadap perubahan kebutuhan bisnis perusahaan sudah selayaknya tidak mendapatkan tempat yang baik. Apakah teknologi informasi di perusahaan-perusahaan dapat dengan mudah mengikuti perubahan kebutuhan bisnis secara cepat? Jika belum, sudah waktunya bagi pemimpin perusahaan untuk berbicara dengan departemen atau divisi yang bertanggung jawab terhadap teknologi informasi perusahaan Anda. Dan kenyataannya, sudah ada teknologi yang dapat menjawab kebutuhan ini, dan itu sudah terbukti efektif. Tidak ada tempat bagi perusahaan modern pada tahun 2000 yang masih menggunakan pendekatan sistem informasi dan teknologi informasi secara konservatif (bagi sebagian perusahaan besar di Indonesia pendekatan tersebut masih dianggap sebagai pendekatan termodern).

Kamis, 01 April 2010

Pendidikan Usia Dini

Sejalan dengan tujuan pendidikan nasional, tujuan pendidikan dasar adalah membangun fondasi untuk berkembangnya manusia holistik. Pendidikan usia dini (usia TK dan SD) adalah masa-masa kritis dalam membangun fondasi ini. Apabila pada usia dini para siswa sudah mendapatkan pendidikan yang salah, maka sikapnya terhadap belajar akan negative dan akan terus terbawa sampai usia dewasa, sehingga sulit untuk menjadi seorang pecinta belajar.

Hasil-hasil studi mutakhir perkembangan anak usia dini (early childhood development), telah memberikan kontribusi terhadap berubahnya paradigm pendidikan untuk usia dini, dari yang dulu berorientasi akademik dan fragmented (terpilah-pilah), menjadi lebih mementingkan aspek-aspek potensi manusia sehingga lebih berorientasi holistik (menyeluruh). Hasil studi mutakhir semakin menunjukkan bahwa seluruh dimensi perkembangan anak (fisik, sosial, emosi dan akademik) terjasi secara stimultan dan integrasi masing-masing tidak berdiri sendiri. Perkembangan salah satu aspek dipengaruhi oleh aspek lainnya. Misalnya, seorang anak yang dimensi sosialnya tidak berkembang dengan baik akan tidak disukai temannya, sehingga akan mempengaruhi kemampuannya bekerja dan belajar dalam kelompok. Selain itu, dia akan merasa tidak nyaman berada di lingkungannya. Ini akan memengaruhi proses belajarnya yang berimplikasi negative pada prestasinya.

Dikarenakan hal-hal tersebutlah, para pakar dan pendidik yang bergabung dalam NAEYC (National Association for the Education of Young Children) di USA yang beranggotakan lebih dari seratus ribu orang dari berbagai Negara telah membentuk petisi untuk mereformasi pendidikan agar sesuai dengan konsep Developmentally Appopriate Practices (DAP) yang dimotori oleh Sue Bredekamp.

Sistem pembelajaran yang sejalan dengan konsep DAP adalah yang menyenangkan bagi anak, karena selain sesuai dengan tahapan perkembangan anak, juga memperhatikan keunikan masing-masing anak. Hal ini dianggap dapat mempertahankan, bahkan meningkatkan gairah semangat belajar anak. Konsep DAP memperlakukan anak sebagai individu utuh (the whole child) yang melibatkan empat komponen, yaitu pengetahuan (knowledge), keterampilan (skills), sifat alamiah (dispositions) dan perasaan (feelings). Hal ini dikarenakan pikiran, emosi, imajinasi dan sifat alamiah anak bekerja secara bersamaan dan saling berhubungan. Apabila sistem pembelajaran di sekolah dapat melibatkan semua aspek ini secara bersamaan, maka perkembangan intelektual. Sosial dan karakter anak dapat terbentuk secara stimultan.

Pendidikan Holistik

Tujuan pendidikan seharusnya mempersiapkan individu agar cakap hidup pada zamannya, mampu menghadapi dunia yang penuh tantangan dan cepat berubah. Proses pendidikan harus dapat membentuk manusia utuh berwawasan holistik, yang seluruh potensinya berkembang secara optimal (whole person). Manusia seperti ini adalah pembelajar sejati yang selalu sadar bahwa dirinya adalah bagian dari sebuah kehidupan yang luasn (the person within whole). Dia selalu ingin memberikan kontribusi positif (added value atau beramal saleh) kepada lingkungannya, baik itu sosial, ekonomi, budaya, maupun alam.

Dalam Undang-undang Republik Indonesia (No. 2 tahun 2004) tentang Sistem Pendidikan Nasional, arah pendidikan pada Bab II Pasal 3 sebenarnya sudah secara eksplisit menguraikan tujuan membangun manusia holistik :

“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”

 

Berbagai Potensi Manusia Yang Perlu Dikembangkan

Dalam menjabarkan tujuan pendidikan nasional tersebut, perlu ada pengklasifikasian potensi-potensi manusia yang perlu dikembangkan. Aspek-aspek tersebut adalah sebagai berikut :

·           Aspek Fisik

Menyangkut perkembangan motorik halus dan kasar, juga menjaga stamina dan kesehatan

·           Aspek Emosi

Menyangkut kesehatan jiwa; mampu mengendalikan stress, mengontrol diri dari perbuatan negative, percaya diri, berani mengambil resiko dan mampu berempati.

·           Aspek Sosial

Belajar menyenangi pekerjaannya, bekerja dalam tim, pandai bergaul, peduli pada masalah sosial dan berjiwa sosial, bertanggung jawab, menghormati orang lain, mengerti akan perbedaan budaya dan kebiasaan orang lain, serta mematuhi segala peraturan yang berlaku.

·           Aspek Kreativitas

Mampu mengekspresikan diri dalam berbagai kegiatan produktif (seni, music, pikiran, dsb), serta mencari solusi tepat dari berbagai masalah.

·           Aspek Spiritual

Mampu memaknai arti dan tujuan hidup dan mampu berefleksi tentang dirinya, mengetahui misinya dalam kehidupan ini sebagai bagian penting dari sebuah sistem kehidupan dan selalu bersifat takzim kepada seluruh ciptaan Tuhan.

·           Aspek Akademik dan Intelektual

Berpikir logis, berbahasa dan menulis dengan baik , selain itu dapat mengemukakan pertanyaan kritis dan menarik kesimpulan dari berbagai informasi yang diketahui.

 

Tujuan membentuk manusia holistik dilakukan oleh banyak Negara. Misalnya, Departemen Pendidikan di Jepang (Monbusho) sejak 1988 telah merevisi sistem pendidikannya yang ditujukan untuk “creative, philosophical, able to make judgements and decisions and able to express themselves” (kreatif, berpikir filosofis, mampu menilai diri dan mengambil keputusan serta dapat mengekspresikan dirinya). Tujuan ini dianggap tepat untuk mempersipkan anak didik agar mampu menghadapi tantangan di masanya kelak.

Sementara itu, Ministry of Education of British Columbia, Canada pada 2000 mencanangkan tujuan pendidikan untuk mengembangkan aspek estetika dan kesenian, emosi dan sosial, intelektual, fisik dan kesehatan, juga tanggung jawab sosial.

Rabu, 31 Maret 2010

Hospitalisasi pada Anak

Hospitalisasi merupakan suatu proses yang karena suatu alasan yang berencana atau darurat, mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit guna menjalani terapi dan perawatan (Supartini,2004). Faktor-faktor yang mempengaruhi hospitalisasi pada anak antara lain : berpisah dari orang tua, siblings, fantasi-fantasi (unrealistic anxieties) tentang kegelapan, monster, binatang buas, gangguan kontak soasil, nyeri dan komplikasi akibat pembedahan atau penyakit, prosedur yang menyakitkan, takut akan cacat atau mati.

Hospitalisasi atau dirawat di rumah sakit bagi anak dan keluarga merupakan sumber stress yang menjadikan mereka merasa tidak aman. Jumlah dan efek stress tergantung persepsi anak dan keluarga terhadap hospitalisasi. Anak mempersepsikan sakit sebagai suatu hukuman untuk perilaku buruk, hal ini karena anak masih mempunyai keterbatasan tentang dunia di sekitar mereka. Anak mempunyai kesulitan dan pemahaman mengapa mereka sakit, tidak bisa bermain dengan temannya, mengapa mereka terluka dan nyeri sehingga membuat mereka harus pergi ke rumah sakit dan harus mengalami hospitalisasi.

Reaksi hospitalisasi pada anak bersifat individual dan sangat bergantung pada tahapan sakit, sistem pendukung yang tersedia  dan kemampuan koping yang dimilikinya. Pada umumnya, rekasi anak terhadap sakit adalah kecemasan akibat perpisahan, kehilangan, terlukanya tubuh dan rasa nyeri.

Anak usia toddler bereaksi terhadap hospitalisasi sesuai dengan sumber stressnya. Sumber stress yang utama adalah cemas akibat perpisahan. Respon perilaku anak dapat berupa tangisan kuat, jeritan atau serangan verbal dan fisik seperti menendang, menggigit, memukul, mencubit, memegang erat orang tua (Wong,2004). Terhadap luka yang dialami atau nyeri yang dirasakan saat menerima tindakan invasif seperti injeksi, infus, pengambilan darah anak akan meringis, menggigit bibirnya, memukul atau menangis.